Tiga
orang. Tiga 15 belas tahun. Tiga kisah dan drama. Tiga yang tertawa dan senang.
Tiga yang rumit dan berkaca. Tiga dan musik dan film. Tiga dengan nyata dan
opini. Tiga dengan kalimat kalimat dan berhitung. Tiga dari rival lalu teman. Tiga
yang merekat karena olok olok. Tiga yang hidup dari kalangan minimum. Tiga yang
gila, konyol. Tiga yang kokoh dalam
kisah harapan. Tiga yang berasumsi “all i have to do is dream”. Mimpi yang
mengawankan para rival. Mimpi yang meluruskan benang merah yang rumit dan
kusut. Mimpi yang mengadu dan menyatu tiga 15 tahun ini. Mimpi yang mengantar
pada tiga dan sebenarnya. Tiga, mimpi yang sebenarnya. Bertiga yang sebenarnya
di awali pelik. Bertiga yang di pertengahan pun pelik. Bertiga yang di akhir
tak pernah. Jika ingat di siang dan menulis album tertulis. Jika ingat di petang
mengalun nyanyian dan cerita. Jika ingat celoteh yang kini makin redup. Jika
ingat pada kisah yang di buat buat. Jika ingat. Saat dulu masa segalanya
berbicara. Saat dulu segalanya perlu terkenang. Saat dulu dan janji janjinya.
Dulu dan sekarang. Sekarang pun masih. Masih sepi, tapi sama. Sekarang masih,
tapi sedikit canggung canggung dan mematung. Mematung dan diam. Akhirnya bicara
yang basa basi. Akhirnya berkata omong kosong. Mungkin mulai larut pada waktu.
Terkadang yang di rencanakan itu mulai remang dan pudar. Dan terkadang makin
sering dan selalu, yang di ucap sekian kali lupa karena banyak bicara. Saat
saat yang sempat senang dan sekarang biasa saja. Waku yang menghakimi. Tak
sekali ada “selamat tinggal” yang kemudian mengasingkan. Waktu yang larut yang
meyibukkan. Sibuk jadi berpesan dan berkata
pun tak sempat. Akhirnya mimpi bersama kini berbuah ambisi dan
berkejaran niatan. Mimpi yang meluruskan “kita”. Kita dan konyol dan gila. Kita
dan cerita dan harapan. Mimpi yang kini makin mengeras. Mimpi yang kini
berjauhan “kita”. Kita dan ambisi dan mau. Kita, dan kita? Semua tenang kita.
Tiga yang kini menjelang 16 tahun. Tiga yang kini tak lagi beratap harapan yang
sama. Tiga yang bukan lagi kisah, opini dan celoteh. Kita bukan buku dari
lembaran lembaran yang di jilid. Kita bukan buket dari bunga bunga yang di tali
satu. Kita bukan warna warna dalam satu lukisan. Kita adalah kita. Lembaranku
dan lembaranmu. Bungaku dan bungamu. Warnaku dan warnamu. Sama yang tak
berikatan. Sama yang tak se iya, sekata. Kita sama. Bertiga masing masing.
Bertiga di ruang itu, masing masing di sikap yang searah. Bertiga jika sempat
dan masing masing mengadu mimpi, lalu bertiga jika puas dan lelah.
Selasa, 07 April 2015
Langganan:
Komentar (Atom)